Karena tanpa kita ketahui. Bahkan tanpa kita sadari, “terkadang” dalam situasi tertentu, kita telah terkungkung oleh suatu kondisi, yang kita sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Bingung atau tidak tau, menyertai semua itu.
Dalam menyerap suatu persoalan. Apakah dalam bentuk curhat, atau memang realitas dari wacana public yang sempat tersambar oleh mata dan telinga. Kita bisa saja merasa gemes/geregetan dengan situasi dan kondisi yang seakan-akan terkunci.
Siapapun yang kebetulan terjebak dalam kondisi itu, bisa jadi mengalami suatu perasaan, seperti ada lem di kakinya. Ingin melangkah tapi kaki terpatri dalam pijakan. Sehingga yang terjadi adalah kehilangan keseimbangan. Terjatuh tanpa pernah melangkah.
Kondisi seperti itu, saya rasa cukup menyedihkan. Memilukan bahkan bisa mengiris-iris hati sampai berdarah-darah, tanpa kita tau siapa yang patut dipersalahkan, atau di jadikan sumber masalahnya.
Contoh paling umum nih yah…,
Jika anda pemerhati persoalan keluarga, anda pasti tidak asing dengan soal menantu dan mertua, tinggal serumah dengan orang tua, pergesekan antar keluarga. Yang sudah bukan rahasia lagi, konfliknya selalu disimpan dengan rapih. Alibinya apa? “malu sama orang lain”.
Anda bisa berimajinasi dengan bebas, tentang konflik apa yang terjadi didalamnya.
Yang ingin saya sentuh dalam contoh yang umum itu adalah. Adanya ketakutan mendalam, terutama bagi pengantin muda untuk mengambil sikap mandiri. Berpisah dari orang tua.
Ingin pindah rumah, ada rasa tidak enak sama ortu, bertahan didalam sama tidak enaknya. Padahal, ketika kita memutuskan untuk berdiam dimana, maka disitulah kebebasan bisa kita rasakan.
Ini bukan soal rumah tangga loh sebenarnya, hanya contoh yah…
Dalam kasus yang lain, tapi dalam konteks yang sinonim, juga bisa terjadi.
Kita ambil contoh dalam soal pindah kerja.
Ini banyak saya denger. Baik itu dari orang-orang dekat, maupun dalam wacana public yang sempat terserap pula oleh keusilan diriku
Biasanya, kaum pekerja, ada yang tidak puas dengan lingkugan tempat ia bekerja. Entah itu soal gaji, bos yang seperti harimau, atau lingkungan pertemanan yang tidak mendukung, mencekam dan merasakan seperti ada ulat di tubuhnya. Gelisah tak tertahankan. Bisa jadi aroma sikut-menyikutnya menggerayanginya didalam lingkungan kantornya.
Bertahan didalam kantor juga sama tidak nyamannya. Tapi apa yang bisa dilakukan untuk meluapkan rasa kekesalan akibat ketidakpuasan. Tapi tak mampu berbuat apa-apa. Tak mampu mengambil sebuah langkah.
Dalam studi kasus kedua contoh yang umum diatas, sebenarnya membuat saya merasa sangat (sekali lagi) geregetan. Kalau bisa orang yang curhat sama saya soal itu dan terlihat lemes untuk mengambil langkah pasti. Ingin rasanya merapatkan keras-keras antara ibu jari dan telunjuk di tubuhnya yang tak berdaya itu. Opss…
Sebenarnya mudah saja kawan, untuk itulah kita manusia terkadang “perlu dipaksa” untuk mengambil langkah ekstrim, terkesan ngawur tanpa perhitungan. Tapi sebenarnya, kita sudah melakukan dobrakan untuk mematikan virus-virus ketakutan yang kita pendam.
Dan kalau kita memiliki kemampuan untuk memeriksa alam bawah sadar, sebenarnya, ada sebuah pesan yang disuarakan. Apa itu? Yaitu ucapan terima kasih, karena sudah membebaskan diri sendiri untuk berani mengambil sikap.
Daripada kita mencla-mencle, pengen itu tapi beraninya justru berbuat ini. Pengen banyak hal, tapi ada ketakuatan besar didalam diri kita. Itulah yang perlu kita dobrak, kita hancurkan. Maka dari itu, sesekali bersikap ekstrim itu baik, saya rasa. Kita hanya perlu satu bogem panas untuk menghancur-leburkan semua pergulatan yang menakutkan itu.
Namun perlu di ingat juga, ekstrim dalam maksud untuk meluluh-lantakan rasa takut kita yah, bukan untuk membuat keonaran ya kawan….,saya yakin anda paham maksud saya.
Caps goalie miffed by nachos on ice during goal
1 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar