PARADIGMA SPIRITUALITAS ERA MODERN

Prodi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
Abstract: Even though the relationship of religion and modernity is a controversial issue, the phenomenon of religious activitisms nowdays should receive special attention due to the fact that it shows the tendency of significant increase. People, no matter where they come from, begin to rely very much on religion. Modernity, in many respects, is considered to be incapable of coping with human life’s problem. This reality is a theoretical antithesis that “modernity is a funerary box for religion.” It is within this contexts that this article tries to elaborate the relationship of the spiritual resurgence and development of modernization and industrialization. On the basis of data collected by the writer, there are, at least, who types of spiritual resurgence; first, spiritual resurgence which develops outside the frame of organized religion. This model bases its spiritual practices on the jargon; “spirituality yes, organized religion no,” as it has been propagated by Naisbitt and Aburdene. Second, spiritual resurgence which develops within the frame of organized religion. This model relies its spiritual exercises on the jargon; “organized religion yes, spirituality no,” as it pioneered by Seyyed Hossein Nasr.
Keywords: spiritualitas, agama, modern

Pendahuluan

Dalam situasi dunia yang semakin global, agama dituntut dapat memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan aktual. Hal ini berkaitan dengan adanya keyakinan bahwa agama pasti mengandung nilai-nilai universal dan absolut yang mampu memberikan alternatif yang tidak ada habisnya. Paralel dengan keyakinan tersebut, terdapat fenomena yang menarik diamati, bahwa pada beberapa tahun terakhir ini, perhatian orang terhadap agama semakin tinggi. Orang kemudian mengaitkan fenomena tersebut dengan beberapa perkiraan tentang kebangkitan agama pada abad XXI, abad yang diwarnai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi.[95]

Kebangkitan agama dapat diamati dari meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang ditampilkan melalui berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Peningkatan minat masyarakat kepada bacaan keagamaan, yang ditandai dengan semakin larisnya buku-buku agama juga dapat dijadikan bukti peningkatan spiritualitas masyarakat. Di samping itu, acara-acara keagamaan yang ditampilkan media elektronik tampak semakin diminati pemirsa.[96] Fenomena ini semakin menguatkan asumsi bahwa peranan agama di era modern telah menemukan momentum yang tepat. Persoalannya, mengapa dalam kemajuan sains dan teknologi, justru semakin banyak orang tertarik pada agama? Apakah ini hanya sekedar gejala eskapisme dalam dunia modern? Ataukah hal ini dikarenakan modernisasi dan industrialisasi dianggap telah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi), sehingga orang semakin jauh dari nilai-nilai moral-agama? Selanjutnya, bagaimana masa depan agama di era modernisasi dan industrialisasi? Beberapa pertanyaan tersebut diharapkan dapat dijawab secara mendalam dalam pembahasan tulisan ini.

Modernisasi dan Industrialisasi

Istilah modernisasi mulai populer sejak revolusi industri di Inggris (1760-1830) dan revolusi politik di Perancis (1789-1794).[97] Jika dilihat dari segi sejarahnya maka modernisasi merupakan jenis perubahan sosial yang membawa kemajuan dalam bidang ekonomi dan politik. Perubahan-perubahan yang dialami bangsa Eropa ini telah mempengaruhi kemajuan pada bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti social, budaya, dan agama. Perkembangan yang dialami bangsa Eropa pun merambah ke negara-negara berkembang hingga kini.

Dalam arti yang menyeluruh modernisasi meliputi segala aspek kehidupan. Akan tetapi dalam arti yang sempit modernisasi seringkali diartikan sebagai kemajuan dalam bidang teknologi dan yang paling spektakuler perubahan dalam proses produksi.[98] Gejala-gejala modernisasi dalam berbagai bidang dapat dilihat, misalnya di bidang ekonomi muncul industri-industri besar dan terbukanya kesempatan kredit bagi industri dari berbagai lembaga keuangan. Dalam bidang pertanian muncul teknologi tingkat tinggi yang mampu mengefesienkan tenaga manusia dan melipatgandakan hasil produksi. Sementara di bidang politik modernisasi ditandai oleh keseragaman hukum. Hal ini dicapai melalui kesadaran hukum yang tinggi, yang sebelumnya ditumbuhkan melalui proses pendidikan dalam masyarakat secara formal dan komunikasi media massa. Kemajuan dalam bidang apa pun memerlukan alat komunikasi yang mampu menjangkau kawasan luas secara efesien. Berbagai gejala modernisasi dimungkinkan oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga tidak jarang modernisasi diartikan sebagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengertian modernisasi meliputi pula aspek mental manusia. Pendekatan sikap mental tertentu yang mencirikan manusia modern dikemukakan oleh teori-teori psikologi dalam sosiologi. Teori psikologi sosial memandang bahwa perlu adanya pribadi-pribadi tertentu untuk masyarakat yang sedang membangun. Paling tidak pribadi-pribadi tersebut akan menyumbang pada tingkat perubahan institusional. Di antara ciri mental manusia modern menurut Lauer adalah manusia yang mementingkan kreativitas (inovasi) individu dan pencapaian prestasi (achievement oriented).[99] Mental manusia yang demikian inilah yang sangat dibutuhkan dalam era sekarang.

Luasnya gejala modernisasi menimbulkan kesulitan untuk membuat suatu definisi yang lengkap mengenai modernisasi. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka definisi modernisasi biasanya dibuat dengan cara mengembangkan aspek yang cukup menonjol. Pendefinisian juga dapat dilakukan dengan mencirikan aspek-aspek tertentu dari modernisasi yang ingin dikemukakan. Schoorl, seperti dikutip Usman Pelly, menyebutkan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan faktor terpenting dalam modernisasi.[100] Menurutnya, modernisasi masyarakat secara umum dirumuskan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah kepada semua aktivitas dan bidang kehidupan masyarakat.

Modernisasi juga sering kali dihubungkan dengan teori evolusi. Jika dipandang dari teori evolusi, maka modernisasi merupakan sesuatu yang mutlak berlangsung. Masyarakat akan terus berkembang mengikuti tahap-tahap tertentu, mulai dari kebudayaan rendah menuju kebudayaan tinggi. Atau sering disebut dari perkembangan yang lebih rendah menuju perkembangan yang lebih kompleks dan selanjutnya menuju perkembangan yang sempurna. Teori evolusi unilinear ini berkembang menjadi teori evolusi multilinear. Dalam teori evolusi ini dikemukakan bahwa masyarakat mengikuti perkembangan yang umum (universal) dan juga pada saat yang bersamaan melakukan perkembangan yang spesifik (khusus) karena penyesuaiannya terhadap situasi masing-masing.

Hal ini berarti bahwa secara umum masyarakat beserta kebudayaannya terus berkembang ke arah kemajuan. Namun arah perkembangan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi, nilai dan norma, serta adat istiadat masyarakat bersangkutan. Dengan demikian arah perkembangan ke arah kemajuan atau disebut dengan pembangunan, tidak selalu mengarah ke kebudayaan Barat yang sering diidentitkan dengan modernisasi. Dengan meminjam istilah Nurcholish Madjid, modernisasi itu bukan westernisasi melainkan rasionalisasi.[101] Arah perubahan banyak bergantung pada pandangan masyarakat, apakah modernisasi tersebut dianggap sebagai suatu kemajuan atau tidak, dipandang bermanfaat atau tidak, diperlukan atau sebaliknya perlu dihindari.[102] Jadi, modernisasi tidak mutlak perlu jika masyarakat atau negara sedang berkembang merasa tidak perlu mengejar sejumlah tujuan, atau beranggapan tidak perlu mengikuti modernisasi.

Modernisasi merupakan fenomena perubahan sosial budaya. Perubahan sosial dalam pandangan Durkheim adalah perubahan dari masyarakat yang bercirikan solidaritas mekanik menuju masyarakat yang bercirikan solidaritas organik.[103] Durkheim menekankan analisis yang menyeluruh dan memandang bagian-bagian memiliki konsekwensi untuk mencapai keadaan normal dengan memenuhi persyaratan sistem. Sedangkan menurut August Comte, perubahan masyarakat berlangsung secara bertahap dimulai dari masyarakat tahap keagamaan, metafisik, dan positif (ilmiah).[104] Comte mengartikan tahap keagamaan (theological) sebagai periode pandangan dan pemahaman mistis. Tahap metafisika merupakan periode di mana yang digunakan untuk mengorganisasi dunia pengalaman bukanlah kategori rasional-subyektif tetapi konsep-konsep abstrak. Sedang tahap positif merupakan periode di mana dikembangkan metode pemahaman ilmiah dan pembentukan konsep modern.[105] Jika teori siklus berpandangan bahwa perubahan sebagai proses yang wajar dan akan terus berlangsung, maka teori fungsional struktural berpendapat suatu perubahan struktur, yaitu perubahan yang menyangkut nilai-nilai dasar terjadi karena pengaruh sistem yang ada di luar suatu sistem yang berubah tersebut.

Perkembangan masyarakat modern juga diikuti industrialisasi. Dalam hal ini industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh penggunaan ilmu pengetahuan terapan, ditandai dengan ekspansi produksi besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas bagi barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi yang meningkat.[106] Industrialisasi berdampak pada perubahan yang kompleks dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap awal industrialisasi berdampingan dengan urbanisasi, yakni peningkatan mobilitas penduduk. Di samping itu juga terjadi perubahan dalam adat istiadat dan moral masyarakat. Pengaruh industrialisasi yang menonjol terdapat pada status pekerjaan dan keahlian pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan kedudukan wanita, serta tradisi dan kebiasaan dalam mengkonsumsi barang.

Konflik antar kelas, ras, dan kelompok sosial juga dilihat sebagai akibat penyerta yang tipikal dari industrialisasi. Syafri Sairin dan Pujo Sumedi mengklasifikasi sumber konflik yang dapat menimbulkan ketidakserasian sosial menjadi tiga macam.[107] Pertama, perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic resources and to means of production). Sumber konflik pertama ini merupakan jenis konflik yang banyak terjadi. Pertarungan di bidang ini biasanya dimenangkan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang lebih unggul dan baik apabila ditinjau dari sumber daya manusia maupun teknologi yang dipergunakan. Motto Only the Fittest will survive merupakan hukum yang lumrah berlaku pada pertarungan ini.

Kedua, perluasan batas-batas kelompok sosial budaya (social and cultural borderline expansions). Sumber konflik kedua ini timbul dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Perbedaan tradisi, bahasa, hukum, dan identitas sosial menyatu dalam kepentingan kelompok sehingga dapat memicu konflik, kecemburuan, dan berbagai prasangka sosial dalam masyarakat. Ketiga, benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama (conflict of political, ideology and religious Interest). Sumber konflik ketiga ini merupakan benturan antara struktur yang mapan terhadap kebudayaan, sistem nilai, ideologi, dan agama yang berkembang. Konflik ini biasanya muncul dalam format; penguasa versus rakyat, majikan versus buruh, dan patron versus client.

Meskipun pada saat sekarang industrialisasi juga digunakan sebagai gambaran mengenai perkembangan organisasi ekonomi sosialis, namun menurut sejarahnya, istilah ini digunakan bagi perkembangan ekonomi kapitalis, dengan ciri kepemilikan dan pengawasan oleh kepentingan industrial dan finansial. Tegasnya, industrialisasi menyangkut proses perubahan sosial, yakni perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem sosial pra-industrial (agraris) ke sistem sosial industrial. Atau dengan kata lain perubahan dari masyarakat pra-modern menuju masyarakat modern; perubahan dari negara kurang maju (less developed country) ke keadaan masyarakat negara yang lebih maju (more developed country).

Wujud perubahan kemasyarakatan sebagai akibat industrialisasi dapat diamati dengan menggunakan teori Parsons, meliputi;[108] Pertama, affectivity ke affective neutrality, yaitu perubahan dari sikap bertindak karena hendak mendapatkan kesenangan segera kepada sikap menunda atau meninggalkan kesenangan jangka pendek itu karena hendak mencapai tujuan jangka panjang. Pengaruh langsung perubahan ini bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan karena ada kebiasaan menabung dan investasi akibat ditinggalkannya penggunaan pendapatan untuk maksud-maksud konsumtif. Affective neutrality juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industri yang bersifat contractual, impersonal, dan calculating. Kebutuhan yang berlanjut kesenangan dan kepuasan segera (immediate satisfaction) terpenuhi terutama melalui lembaga-lembaga tradisional seperti keluarga.

Kedua, perubahan dari partikularisme menjadi universalisme. Industrialisasi cenderung mengikis keekslusifan partikularistik seperti ras, warna kulit, agama, dan keturunan. Partikularisme semacam ini jelas tidak efisien dalam masyarakat industri. Masyarakat yang tertinggi tingkat industrialisasinya, baik kapitalis maupun komunis, adalah masyarakat di mana pola universalistas tampak menonjol dan karir terbuka untuk setiap bakat dan kemampuan. Ketiga, perubahan dari ascribtion menjadi achievement. Contoh ascribtion adalah sistem nepotisme, yaitu rekruitmen berdasarkan hubungan kekeluargaan atau darah. Nepotisme jelas tidak sejalan dengan cara dan sikap hidup masyarakat industri dan modern. Dengan kata lain, perubahan karena industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan karena prestise kepada sistem penghargaan karena prestasi (achievement).

Keempat, perubahan dari diffuseness ke spesivicity. Yang dimaksud ialah perubahan dari hubungan sosial yang memiliki ruang lingkup luas dan serba meliputi, ke hubungan di mana seorang aktor atau pelaku tindakan membatasi perhatiannya mengenai orang lain pada hal-hal yang bersifat khusus dan tidak mengizinkan masuk pertimbangan yang lain. Contoh hubungan diffuse adalah antara ayah dan anak, sedangkan contoh hubungan spesifik (spesivicity) adalah antara guru dan murid di sekolah. Seorang ayah berperan sebagai ayah terhadap anaknya pada segala situasi, sementara seorang guru berperan sebagai guru bagi muridnya hanya pada situasi-situasi tertentu, misalnya ketika proses belajar mengajar di kelas.

Spiritualitas Era Modern

Hubungan religiusitas dan modernisasi (industrialisasi) merupakan persoalan rumit yang banyak menimbulkan kontroversi, khususnya di kalangan ilmuwan sosial. Suatu ungkapan yang hampir menjadi stereotip dalam percakapan sehari-hari menggambarkan seolah-olah agama merupakan hambatan terhadap proses modernisasi dan industrialisasi. Meskipun pada beberapa kasus mungkin asumsi itu benar, misalnya ada agama yang menentang program Keluarga Berencana (KB) padahal menurut para ahli mutlak diperlukan di negara-negara berkembang. Tetapi generalisasi bahwa agama merupakan rintangan modernisasi dan industrialisasi tidak dapat dibenarkan. Di samping itu juga terdapat pandangan yang sangat pesimistis terhadap peranan agama di era modern, seperti agama dianggap sebagai racun masyarakat (Karl Marx), Tuhan telah mati (Nietszhe), dan agama dianggap biang kerok keonaran di muka bumi (A. N. Wilson).[109] Dengan padangan yang pesimistis seperti itu, tidaklah terpikirkan bahwa agama akan mampu ikut serta memecahkan persoalan kemanusiaan di tengah modernisasi dan industrialisasi.

Sebaliknya, pendapat bahwa agama merupakan dorongan bagi terjadinya proses modernisasi dan industrialisasi adalah tesis yang terlampau optimis jika dikatakan secara umum. Tesis Weber tentang adanya hubungan etika Protestan, khususnya Calvinisme, dengan semangat kapitalisme modern dapat disebut sebagai fenomena yang unik dan tidak dapat dijadikan sebagai kesimpulan adanya hubungan dinamis antara agama dan modernisasi.[110] Penelaahan lain mengenai hubungan agama dan industrialisasi dilakukan oleh Robert N. Bellah. Menurutnya, terdapat hubungan dinamis antara agama Tokugawa dan kebangkitan ekonomi Jepang modern. Hasil penelitian Robert N. Bellah menunjukkan bahwa etika ekonomi Jepang modern bersumber dari etika kelas Samurai. Seedang etika Samurai berasal dari ajaran-ajaran Tokugawa.[111]

Meskipun persoalan hubungan agama dan modernisasi (industrialisasi) masih kontroversial, namun patut dicermati adanya fenomena yang menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan pada saat sekarang semakin diminati. Orang dari berbagai kalangan, telah menaruh minat yang luar biasa terhadap agama. Modernitas dalam segala wujudnya dipandang tidak mampu memberikan kehidupan yang lebih bermakna bagi manusia. Kenyataan tersebut jelas menjadi antitesa teori yang menyatakan bahwa modernisme dan modernisasi merupakan lonceng kematian bagi agama.[112] Berkaitan dengan hal ini maka dapat dikatakan bahwa peranan agama di masa sekarang dan masa mendatang tetap penting. Sebab, memang kesadaran spiritual bagi setiap orang di setiap generasi merupakan bagian dari kesadaran providensi (keilahian).

Dikarenakan adanya hubungan yang dinamis antara agama dan modernitas, maka diperlukan upaya untuk menyeimbangkan pemahaman orang terhadap agama dan modernitas. Pemahaman orang terhadap agama akan melahirkan sikap keimananan dan ketaqwaan (Imtaq), sedang penguasaan orang terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era modernisasi dan industrialisasi mutlak diperlukan. Dengan demikian sesungguhnya yang diperlukan di era modern ini tidak lain adalah penguasaan terhadap Imtaq dan Iptek sekaligus. Salah satu usaha untuk merealisasikan pemahaman Imtaq dan penguasaan Iptek sekaligus adalah melalui jalur pendidikan. Dalam konteks inilah pendidikan sebagai sebuah sistem harus didesain sedemikian rupa guna memproduk manusia yang seutuhnya. Yakni manusia yang tidak hanya menguasai Iptek melainkan juga mampu memahami ajaran agama sekaligus mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dewasa ini gerakan new age (zaman baru), yang ditandai dengan suatu reaksi kritis terhadap kemodernan yang rasional sudah demikian populer. Gerakan zaman baru ini berupaya mencari keseimbangan rasio dan iman, sebagai hal yang sering dilupakan manusia modern. Orang senantiasa mengkaitkan new age dengan fenomena kebangkitan spiritualitas di tengah-tengah masyarakat. Asumsi bahwa dewasa ini telah terjadi peningkatan kecenderungan masyarakat terhadap spiritualitas, mendapatkan justifikasi dengan pesatnya perhatian orang terhadap dunia mistik-spiritual. Semboyan Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrend 2000; “Spirituality Yes! Organized Religion No,”[113] semakin menandai kebangkitan spiritualitas masyarakat, khususnya masyarakat Barat yang mulai menengok ke spiritualitas Timur. Perkembangan selanjutnya, seperti dikatakan Harvey Cox, perhatian masyarakat Barat terhadap dunia mistik spiritual ternyata bukan hanya kepada spiritualitas Timur (turning to the east).[114] Masyarakat Barat saat sekarang telah menjangkau pada pencarian terhadap spiritualitas Barat sendiri, yang sepanjang abad Kristen modern telah dilupakan.

Memang, belum diperoleh kejelasan apakah munculnya kesadaran spiritual pada masa kini dikarenakan adanya kesadaran providensi (keilahian) seperti halnya zaman dulu, ataukah, seperti dikatakan Allen E. Bergin, bahwa munculnya fenomena spiritual disebabkan adanya kegagalan organized religion.[115] Pada konteks ini, agama-agama yang terorganisasi tidak lagi mendapat perhatian, dengan meminjam istilah Erich Fromm, agama-agama yang ada dianggap terlalu ‘otoriter’ terhadap manusia konkrit. Berbagai kalangan menyetujui pandangan Fromm yang menyatakan bahwa manusia modern membutuhkan agama yang lebih humanistis.[116] Menurut Fromm, kecenderungan otoritarian dalam agama berakar dari karakter sosial yang menjadi dasar dari destruksi dalam kehidupan manusia. Agama yang berkarakter sosial otoritarian pasti akan menyebabkan manusia mengalami dehumanisasi.

Di samping beberapa asumsi yang telah disebutkan, ada yang justru beranggapan bahwa era modern yang telah menghasilkan kecemasan, keterasingan, kekerasan, dan egoisme, menyebabkan manusia modern merindukan kehidupan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dipandang tidak mampu memberikan makna tentang kehidupan. Karenanya, kebangkitan agama dalam berbagai wujudnya dapat dianggap sebagai penolakan yang tegas terhadap kepercayaan buta pada produk modernitas. Penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama era modern nyaris menjadi ‘pseudo religion’ merupakan salah satu fenomena yang menarik pada masa sekarang. Selanjutnya dikatakan bahwa modernisme dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Karena itu, dapat dipahami jika kemudian di kalangan agamawan, teolog, dan sebagian anggota masyarakat mempertanyakan keabsahan teologi modern yang memberikan legitimasi keagamaan bagi modernisme. Berkaitan dengan ini dibutuhkan ‘teologi pasca modernisme’ agar agama mampu memberikan respons yang tepat terhadap gejala dan perkembangan kehidupan.

Kemunculan teologi pasca modernisme diharapkan mampu mereposisi peran agama-agama yang ada (organized religions) sehingga dapat membawa pemeluknya kepada pola hidup yang lebih religius. Dalam kaitan ini penting dikedepankan gagasan mengenai urgensi praktik spiritualitas dalam kerangka agama-agama. Atau dengan meminjam istilah Seyyed Hossein Nasr; “Organized Religion Yes, Spirituality No,” suatu ungkapan yang bertolak belakang dengan semangat spiritualitas yang dikemukakan Naisbitt dan Aburdene.[117] Dengan demikian, pendapat Naisbitt dan Aburdene yang menyatakan bahwa kebangkitan spiritual pada masa modern bukan dalam pengertian kebangkitan organized religions, tidak berlaku pada semua agama.

Penilaian Naisbitt dan Aburdene barangkali dapat terjadi pada agama-agama selain Islam. Sementara pada agama Islam tampak sekali aktivitas-aktivitas keagamaan, termasuk tasawuf dan tarekat, sebagai wujud kebangkitan spiritualitas malah menjadi tren masyarakat Muslim. Fenomena ini di antaranya ditandai dengan berkembangnya gerakan tarekat, pengajian eksekutif, kursus-kursus tasawuf, training spiritual, dan layanan konsultasi persoalan sosial keagamaan melalui media cetak dan elektronik. Yang menarik diamati, ternyata kegiatan-kegiatan keagamaan ini tidak hanya diikuti kalangan yang memiliki latar pendidikan agama memadai. Tetapi, banyak di antara mereka justru berasal dari kalangan yang terdidik secara modern, terutama masyarakat Muslim yang tinggal di perkotaan.

Persoalannya, jika kebangkitan spiritual di era modern tidak disertai usaha-usaha untuk menyesuaikan dengan konteks, maka bukan tidak mungkin tampilan kebangkitan spiritualitas akan berwajah sangar dan berbau klenik. Tampilan spiritualitas era modern seharusnya mendorong para praktisi spiritual untuk mewujudkan spiritualitas dengan wajah yang modern pula. Wajah modern tersebut setidaknya dapat dilihat ketika para praktisi spirutual tidak lagi menggunakan kembang kemenyan dan asap dupa dalam berpraktik. Mereka lebih sering menggunakan istilah-istilah dari dunia akademik, misalnya para psikologi, aura, fenomena astral, dan sebagainya, dalam menjelaskan fenomena spiritual.[118] Salah satu contohnya adalah pesulap Dedy Corbuizer. Ia selalu menekankan pentingnya kekuatan pikiran atau alam pikiran dalam praktik magisnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan praktik spiritualitas masa silam, misalnya perdukunan, yang selalu menjelaskan unsur-unsur spiritual dengan roh-roh ghaib atau hal-hal yang berdimensi klenik.

Paralel dengan persoalan tersebut, kebangkitan agama (termasuk tasawuf dan tarekat) juga harus disertai dengan usaha untuk memodernisasi ajaran. Kebangkitan spiritual harus mampu mewujudkan keshalihan sosial, bukan sekedar keshalihan individual. Pada konteks ini tasawuf dan tarekat harus meninggalkan konsep ‘uzlah (menjauhkan diri dari keramaian). Pelaku sufi harus didorong menjadi aktivis dengan menekankan pentingnya berinteraksi dengan masyarakat. Di samping itu, gerakan tasawuf juga diupayakan menyentuh berbagai aspek kehidupan, misalnya bidang ekonomi.

Berkaitan dengan keinginan tersebut maka wacana neo-sufisme dan masa depan tarekat sebagai salah satu wujud kebangkitan agama, menjadi relevan dibicarakan. Istilah neo-sufisme merujuk pada terminologi yang digagas oleh Fazlurrahman, memiliki arti jenis kesufian yang terkait erat dengan syari’at, sebagaimana termaktub dalam al-Qur‘an dan Hadith, serta menekankan pentingnya keterlibatan aktif sufi dalam masyarakat.[119] Nurcholish Madjid membandingkan istilah neo-sufisme dengan tasawuf modern, seperti tampak pada judul buku yang ditulis Hamka.[120] Menurut Nurcholish, istilah neo-sufisme terasa lebih netral dibanding tasawuf modern, yang menunjukkan sifat optimistis, karena modern acap kali berkonotasi positif dan optimis.[121] Meski menggunakan istilah yang berbeda, tetapi neo-sufisme maupun tasawuf modern memiliki pengertian yang sama. Dengan pemahaman tersebut, maka neo-sufisme menjadi penting dijadikan paradigma kebangkitan spiritual pada masa modern.

Penutup

Dari uraian pembahasan yang telah diutarakan, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut; Pertama, peranan agama pada masa modern dirasakan masih sangat penting, bahkan menunjukkan gejala peningkatan. Fenomena kebangkitan agama di antaranya dapat diamati dari maraknya kegiatan-kegiatan keagamaan dan larisnya buku-buku agama. Fenomena ini setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya kesadaran providensi setiap individu, ketidakberhasilan modernisasi dan industrialisasi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih bermakna (meaningful). Di samping itu, kegagalan organized religions dalam mewujudkan agama yang bercorak humanistik, juga disinyalir turut mendorong praktik spiritualitas era modern.

Kedua, agama tetap akan memegang peranan penting di masa mendatang, terutama dalam memberikan landasan moral bagi perkembangan sains dan teknologi. Dalam kaitan ini perlu ditekankan pentingnya usaha mengharmoniskan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dengan agama (Imtaq). Iptek harus selalu dilandasi oleh nilai-nilai moral-agama agara tidak bersifat destruktif terhadap nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi). Sedangkan ajaran agama harus didekatkan dengan konteks modernitas, sehingga dapat bersifat kompatibel dengan segala waktu dan tempat.

0 komentar:

Posting Komentar

KEOSABO

Sepenggal kata yang mungkin tak bisa di hilangkan dari dinamika perkembangan kota Sorowako. Tidak sekedar nama, melainkan sebuah rumah, wadah, klub, team, bahkan organisasi professional yag turut memberi warna kehidupan di kota Sorowako. Awalnya Keosabo dibentuk oleh komunitas teman-teman sepergaulan dan seperjuangan pada saat masa SMP sekitar tahun 1999-2000. Dan awalnya adalah komunitas bagi Sahabat2 seangkatan di SMP YPS Sorowako itu sendiri. Mengenai arti atau apa sebenarnya Keosabo itu sendiri..Merupakan kependekan dari Kencang Oke..Santai Boleh yang kemudian di singkat menjadi Keosabo. Nah, mungkin pada saat itu nama ini sangat pas menaungi komunitas ini. Yang pada saat itu memang lagi focus pada komunitas motor dan atau otomotif. Komunitas motor Keosabo di kenal santun dan solid serta bersahabat dengan komunitas2 motor lain di Sorowako

Hari berganti hari, masa beralih masa..Keosabo tumbuh dan berkembang begitu dewasa hingga ke jenjang SMU YPS Sorowako. Di iringi semangat kekeluargaan dan spirit anak muda yang memang lagi dalam masa proses pencarian jati diri (eksistensi), teman2 yang bergabung pun makin bertambah. Bertambahnya anggota makin membuat Keosabo makin penuh dengan nuansa baru dan potensi yang begitu besar. Bukan hanya bidang otomotif fokusnya..dunia musik, sport, dan kegiatan lainnya pun di rambah. Dari skil musik teman2 Keosabo yang hobby musik, maka Sahabat2 mencoba memadukan harmonisasi musik dalam satu band. Sempat eksis di dunia musik Sorowako dengan mengikuti berbagai ajang musik dan pentas seni di Kota Sorowako. Tidak hanya sampai di situ..Keosabo juga terus ikut andil dalam berbagai kegiatan2 positif, kreatif dan intelektual di Sorowako hingga Akhir masa SMU, dan terus solid hingga kini dan detik ini.

Sekarang para personil dan Sahabat2 Keosabo banyak yang menimba ilmu di luar Sorowako. Ada yang di Jogja, Bandung, Makassar, Malang, Jakarta, Surabaya, Semarang, bahkan di luar negeri pun ada. Namun jarak bukan penghambat untuk terus berkomunikasi dan bersatu. Dimana-mana nuansa akrab Keosabo masih terjaga. Jadi, ketika kita kemana2..mo ke Jogja, Bandung, Makassar atau dimanapun..sahabat2 Keosabo dengan ramah menemani. Masih terasa kental aroma persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Dasar Anak Keosabo..dimana2 dan kapanpun masih tetap kreatif. Hahaha..Canda tawanya tidak banyak yang berubah, sulit terlupakan dan tergantikan.
Miss u All Friends.
Glory For You All..Forever and Always.
banner angingmammiri
CO.CC:Free Domain

10 chord terlaris untuk minggu ini

chat