Perdebatan seputar paham pluralisme agama mencapai puncaknya saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kesesatan paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (Sipilis) pada Musyawarah Nasional (Munas) VII, 26-29 Juli 2005, di Jakarta.
Pro-kontra seputar kesesatan faham pluralisme ini pun coba dipotret oleh intelektual muda Muhammadiyah Jatim Dr Biyanto MAg dalam disertasinya di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Disertasi berjudul “Pluralisme Keagamaan dalam Perspektif Kaum Muda Muhammadiyah” itu kemudian disarikan dalam sebuah artikel berjudul “Pluralisme, Pengakuan Keragaman yang Inklusif” (Jawa Pos, 11 Oktober 2008).
Dalam artikelnya, Biyanto menilai pluralisme tidak mesti dipahami sebagai paham relativisme kebenaran seperti yang tercermin dalam fatwa MUI. Pluralisme, ujar Biyanto, merupakan paham yang mengajarkan agar setiap pemeluk agama mengakui keberadaan agama lain dan paham keagamaan yang berbeda. Pluralisme juga meniscayakan agar setiap orang terlibat aktif dalam memahami perbedaan dan berkomitmen menemukan kesamaan dan perbedaan.
Dengan mengutip pendapat Mukti Ali, Biyanto menulis, pluralisme meniscayakan sikap keterbukaan antarpemeluk agama untuk saling berdialog. Keterbukaan tersebut mencerminkan adanya kenisbian pandangan dan penafsiran terhadap teks keagamaan. Melalui kesadaran inilah klaim kebenaran dapat diminimalkan.
Di akhir tulisannya, Biyanto merekomendasikan perlunya kembali mewacanakan dan menerapkan nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan keagamaan yang sangat plural. Sikap ini dinilainya perlu dikembangkan agar ada jaminan kehidupan yang koeksisten dengan keragaman etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan berbeda.
Paradoks
Ajakan Biyanto untuk memahami pluralisme bukan sekedar sebagai relativisme di atas terasa paradoks dengan tulisannya yang mengutip gagasan Mukti Ali. Apa makna kalimat “Keterbukaan tersebut mencerminkan adanya kenisbian pandangan dan penafsiran terhadap teks keagamaan” bila bukan bermakna relativisme. Makna pluralisme sebagai relativisme itu sebenarnya kembali ditegaskan Biyanto dengan kalimat “Melalui kesadaran inilah klaim kebenaran dapat diminimalkan”.
Relativisme kebenaran sesungguhnya adalah makna term pluralisme agama yang primordial. Makna ini akan kita jumpai dalam berbagai literatur kajian filsafat agama dan perbandingan agama yang tersedia.
Dalam Islam Pluralis (2001), Budhy Munawar Rahman mencatat, setidaknya terdapat tiga sikap dalam beragama; 1) eksklusif yang menganggap satu agama sebagai kebenaran mutlak, sedangkan agama orang lain salah dan menyesatkan 2) inklusif. Sikap ini mengajarkan bahwa agama yang dipeluk seseorang merupakan jalan kebenaran, namun agama lain juga merupakan jalan kebenaran, meski dengan tingkat yang berbeda. 3). Paralelisme yang menganggap setiap agama merupakan jalan-jalan yang sama menuju pada kebenaran. Sikap ini disebut juga oleh John Hick sebagai pluralisme (1988).
‘Ateis’
Pluralisme dibangun atas asumsi ketidakmungkinan yang relatif (manusia) menggapai Yang Mutlak (Tuhan). Adanya jarak antara keduanya membuat pesan-pesan dari Yang Absolut mustahil dipahami secara akurat oleh yang relatif. Karenanya, tidak ada kebenaran absolut, yang ada hanyalah kebenaran yang absolut secara relatif (relatively absolute).
Secara tidak langsung asumsi tersebut mengatakan bahwa hakikat agama adalah produk pemahaman manusia terhadap hakikat Tuhan. Para utusan (nabi/rasul/avatar) adalah orang-orang jenius yang berfikir tentang Tuhan, dan hasilnya dibakukan dalam norma-norma dan institusi yang disebut agama.
Ini tentu sebuah reduksi serius atas hakikat agama. Setiap komunitas agama tentu menolak bila dikatakan keyakinannya sebagai produk pemikiran tokohnya. Tokoh-tokoh sentral agama bukanlah pencipta agamanya, namun sekedar bridge antara manusia dan Tuhan.
Keyakinan dan ritus dalam agama adalah murni dari Tuhan. Nabi, rasul, avatar dan tokoh sentral agama hanyalah manusia-manusia istimewa yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan (risalah)-Nya kepada umat manusia. Pesan-pesan Ilahiah itulah yang disebut wahyu dan di kemudian hari diwujudkan dalam konsep kitab suci.
Logikanya, seandainya para utusan adalah pencipta agama-agama, tentu mereka akan mengajak umatnya untuk menyembah dirinya, bukan menyembah yang lain (Tuhan), mengingat adanya ego-narsisme dalam diri setiap manusia.
Asumsi tersebut secara tidak langsung juga menyatakan bahwa penyembahan manusia terhadap Tuhan sejatinya bukan penyembahan kepada Tuhan itu sendiri, melainkan penyembahan terhadap para tokoh ‘pendiri’ agama tersebut karena konsepsi Tuhan dalam agamanya adalah hasil dari pemikiran sang tokoh. Konsekuensi inilah yang menjadikan pluralisme agama bukan sekedar relativisme, tetapi juga ‘ateisme’. Allahu a’lam
Caps goalie miffed by nachos on ice during goal
1 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar