Bisa jadi saat ini saya sedang dalam masa hibernasi, tetapi bisa juga saya mengalami gejala penyakit M atau yang biasa disebut penyakit malas. Sobat baraya bisa menghitung senditi berapa hari saya tidak menulis blog sejak posting-an terakhir. Menurut Kamus Encarta 2006, Hibernation adalah masa pengurangan aktivitas yang biasanya terjadi pada hewan saat musim dingin. Mereka lebih banyak bergelung pada sarang-sarang yang hangat, menghemat energi yang tersimpan dalam bentuk lemak yang sudah dipersiapkan menjelang musim dingin. Dengan cara seperti ini, mereka pun berhasil melewati musim dingin dengan baik. Hibernasi sudah pasti berkonotasi positif, tetapi tidak dengan penyakit malas. Menurut KBBI, malas adalah tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu, segan, tidak suka, tidak bernafsu.
Siapa pun bisa terkena penyakit M. Dari pelajar, mahasiswa, hingga karyawan, ibu rumah tangga, bahkan pengangguran sekalipun. Malas dalam psikologi sudah dimasukkan sebagai salah satu bentuk perilaku. Menunda pekerjaan atau menyelesaikan tugas tapi tidak sesuai waktu yang sudah ditetapkan saja sudah bisa disebut perilaku malas. Muara perilaku ini sudah tentu penurunan produktivitas yang bersangkutan. Kabar baiknya, perilaku ini bukanlah kartu mati yang tidak bisa diubah.
Seseorang bisa berperilaku malas terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan karena dia tidak memiliki motivasi untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan itu. Dalam psikologi, seseorang berperilaku tertentu karena adanya energi yang mendorongnya untuk berperilaku. Energi inilah yang disebut motivasi, yakni hal yang mendorong seseorang bertingkah laku mencapai suatu tujuan.
Motivasi dipengaruhi oleh suatu sikap yang terdapat dalam diri orang itu. Sikap yang bisa positif atau negatif itu timbul lantaran adanya persepsi atau pemberian makna terhadap suatu objek atau peristiwa. Persepsi atau pemberian makna tersebut ditentukan oleh suatu sistem nilai, yakni suatu patokan untuk berperilaku yang berlaku pada suatu lingkungan tertentu. Sistem nilai yang tertanam dalam diri seseorang ini dipengaruhi oleh budaya, masyarakat, dan orang tua.
Salah satu etnis di Indonesia terkenal rajin dan serius dalam bekerja. Perilaku ini muncul lantaran mereka memiliki suatu sistem nilai bahwa kalau ingin hidup layak, mereka harus bekerja keras. Sistem nilai itu telah ditanamkan oleh orang tua sejak kecil dalam perilaku sehari-hari, baik dalam memarahi, memberi nasihat, atau memberi suatu contoh. Lingkungan budaya etnis ini juga memberikan teladan. Mereka yang hidup layak ya karena mereka bekerja keras. Sebaliknya, yang hidupnya berkekurangan lantaran tidak mau bekerja keras.
Pada budaya kantor, karyawan yang “menganut” nilai RMS (rajin malas sama saja) bakal menjadi malas melakukan tugasnya. Akan tetapi berbanding terbalik ketika ia bekerja pada kantor yang nilai profesionalismenya dijunjung tinggi. Prinsip ‘Jika kamu bekerja baik, imbalannya akan baik. Jika kamu tidak bekerja baik atau prestasi rendah, imbalannya juga rendah, kalau perlu di-PHK’ tentu akan memberikan motivasi positif dalam pekerjaannya.
Kalau seseorang malas terhadap suatu pekerjaan, artinya motivasi dia terhadap pekerjaan tersebut sangat rendah. Sikapnya terhadap pekerjaan itu negatif akibat persepsi yang diberikannya terhadap pekerjaan itu kurang baik. Ini lantaran sistem nilai yang ada dalam dirinya membuat dia berperilaku malas untuk melakukan pekerjaan itu. Sementara terhadap pekerjaan lainnya mungkin tidak begitu. Jadi, perilaku malas merupakan hasil suatu bentukan. Artinya, perilaku itu bisa dibentuk kembali menjadi baik atau tidak malas.
Pembentukan kembali perilaku seseorang tadi sebetulnya sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, bisa orang tua, teman, atau orang lain di sekitarnya. Lingkungan yang bisa memberi pengaruh lebih kuatlah yang bisa membentuk seseorang. Dalam mengubah perilaku seseorang, yang paling mendasar adalah mengubah persepsinya. Untuk itu, perlu mempelajari dan mengambil sistem nilainya yang bisa mengubah persepsinya atau memberikan sistem nilai lain yang baru baginya.
Perilaku manusia pada dasarnya memang dapat diubah. Namun, ada hal yang tidak dapat diubah, yakni perilaku-perilaku yang erat kaitannya dengan fisik. Misalnya, seseorang yang berkaki panjang sebelah tidak bisa disuruh berperilaku jalan normal atau seseorang yang memiliki penyakit tekanan darah tinggi disuruh untuk tidak marah atau waswas. Anak yang tingkat kecerdasannya rendah, relatif sulit untuk di-charge (dimotivasi) menjadi rajin. Kalau dia tidak mampu dalam hal pelajaran matematika, sudah tentu energi untuk belajar matematikanya juga kurang. Ujung-ujungnya, perilaku yang ditampilkan adalah malas belajar matematika atau bahkan malas sekolah. Ada juga anak yang mampu, tapi orang tua membandingkan kepintarannya dengan kakak atau adiknya. Lama-lama akan terbentuk konsep diri yang negatif. Akhirnya, dia memberikan makna pada matematika sebagai sesuatu yang sulit. Padahal, sebenarnya dia mampu.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk melakukan pembentukan perilaku seseorang, di antaranya dua teori pembiasaan yang dikemukakan oleh Dollard, Miller, dan Bandura yang ketiganya psikolog dari AS. Teori ini kira-kira senada dengan pepatah “Ala bisa karena biasa”. Teori pertama adalah teori belajar yang dikemukakan oleh Dollard & Miller. Bagaimana kita memberikan stimulus (rangsangan) supaya terbentuk suatu respons atau perilaku. Bagaimana stimulus itu menjadi cue (stimulus dalam dirinya yang mengarahkan untuk berbuat), sehingga menimbulkan suatu drive (dorongan) untuk berperilaku. Kalau berhasil, dia akan mendapatkan reward (imbalan).
Teori lain yang dikemukakan Bandura sering disebut teori panutan. Dalam teori ini ada stimulus dalam bentuk oral atau visual yang diberikan oleh seorang model atau tokoh. Stimulus ini disimpan atau diingat, dan suatu saat akan dilakukan sebagai suatu perilaku. Dari tindakannya dia akan mendapatkan suatu reward. Contohnya, dalam suatu keluarga ada orang tua yang giat bekerja dan selalu menasihati anak untuk mencapai prestasi. Anak, yang melihat orang tuanya bekerja keras (visual) dan sering memberikan nasihat atau cerita (oral) soal perlunya bekerja keras, akan timbul persepsi bahwa sesuatu itu dapat diperoleh dengan kerja keras. Dari sana bakal terbentuk tingkah laku kerja keras dalam diri anak.
Mudah2an, malas yang menyerang saya kali ini adalah proses hibernasi agar energi yang tersimpan benar-benar efektif setelah proses ini berakhir. Tidak hanya sekadar tidur malas2an atau santai berhari-hari yang (justru) bisa menyedot energi lebih banyak lagi. Semoga saja. Lalu … bagaimana dengan sobat baraya?
Wallahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar