“KITALAH generasi yang akan memakmurkan Indonesia. Aku bersamamu orang-orang malang.” (Soe Hok Gie)
Ungkapan ini adalah sebuah renungan seorang aktivis muda bangsa ini di era ’63. Seorang pria kritis keturunan China yang berjuang dalam menjunjung tinggi hak dan keadilan rakyat Indonesia. Dialah Soe Hok Gie, mahasiswa sastra Universitas Indonesia yang menjadi sumber inspirasi bagi para mahasiswa untuk memaknai perannya sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi. Berbagai kecaman dan makian ditumpahkan kepada sang aktivis ini, tapi perjuangan Gie tidak pernah berhenti . Menurutnya, tugas sebagai manusia yang berpendidikan adalah berpikir dan memahami persoalan yang terjadi di bangsanya setelah itu mengambil tindakan.
Tidak ada yang salah oleh bangsa ini apabila mereka mau memahami persoalan yang sedang terjadi, menganalisis dan mengambil tindakan. Akan tetapi, budaya demokrasi yang sering kelewat batas membuat masyarakat Indonesia menjadi orang yang lebih banyak bicara tapi tidak mau mendengar. Keadaan ini membuat kesenjangan pikiran antara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat yang selalu mengeluh dan tidak mau berbuat apa-apa membuat pemerintah menjadi bingung dan beranggapan bahwa rakyat hanya uncang-uncang kaki di negeri ini tanpa tahu biduk persoalan bangsa ini.
Ketika kemiskinan melanda negeri ini, harga-harga membumbung tinggi dan korupsi merajalela, mahasiswa serasa ditampar oleh keadaan tersebut. Mereka secara tidak langsung terseret dan ditunjuk untuk ikut andil dalam permasalahan bangsa ini. Anggapan yang sering terlintas di benak masyarakat adalah bahwa mahasiswa merupakan sekumpulan anak muda yang egonya labil dan masih awam dalam politik. Tapi bukan itu yang terjadi dalam kehidupan kampus sesungguhnya. Para mahasiswa sudah belajar terbang sebelum ingin bebas. Mahasiswa sudah berlatih dalam organisasi mahasiswa (ormas), melakukan perdebatan satu sama lain, membuat event-event yang memerlukan kerjasama serta kepercayaan dan sebagainya. Maka, bukan sebuah hal yang rumit bagi mahasiswa untuk bicara ‘tidak’ demi kebaikan bersama. Mahasiswa bukan pemberontak bangsa, ia hanya mencontoh keberanian para pejuang terdahulu dalam melepaskan belenggu kebodohan bangsa ini dan mengenggam kemerdekaan sebagai balasannya.
Kurangnya pengertian di negara ini membuat segalanya menjadi sebuah masalah. Egoisme tinggi yang tertanam pada kaum borjuis membuat kaum miskin nekat menghalalkan segala cara karena lelah diabaikan. Mahasiswa berteriak, berdiri melawan panas menghadap kaum intelegensia yang selalu diam untuk ikut bersuara sebagai ‘rakyat Indonesia’ yang lahir menjadi makhluk sosial. Dan tugasnya lah membantu mereka yang terampas haknya sebagai seorang manusia.
Mahasiswa adalah para jiwa muda yang penuh kobaran semangat. Mereka tidak akan berhenti dalam memperjuangkan kebenaran. Ingatkah Anda dengan tragedi hilangnya tiga mahasiswa dalam peristiwa Trisakti? Itu hanya satu dari sekian banyak contoh semangat para mahasiswa dalam memperjuangkan keadilan. Mereka tidak ingin sekolahnya yang tinggi tidak dapat menghasilkan apa-apa alias nihil untuk bangsanya. Para mahasiswa berjuang mati-matian untuk melawan nasib buruk dan menolaknya sebagai sebuah ‘kutukan’. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Soe Hok Gie, ‘Apalah kata yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran’.
Gagasan kesadaran para mahasiswa seharusnya membuat bangsa ini berpikir bahwa setiap negara merupakan struktual yang sangat erat bagaikan sebuah bangunan dengan fondasi. Pemerintah tidak akan berjalan tanpa adanya masyarakat, begitu juga sebaliknya. Bangsa ini menangis sekarang, karena saat ini ia butuh konsepsi, bukan sekedar omong kosong para penjanji ulung. Negara ini butuh tindakan sekarang bukan perdebatan yang berujung saling menyalahkan. Dan sekarang mahasiswa tahu akan hakikatnya sebagai orang yang berpendidikan di tengah-tengah kebutaan huruf yang melanda negeri ini.
0 komentar:
Posting Komentar