Mahasiswa Haus Nilai Vs Mahasiswa Haus Ilmu

APAKAH selama ini kita masih menjadi mahasiswa bodoh yang hanya berpikir tentang bagaimana caranya besok bisa tampil lebih keren dari hari ini, dan hari ini bisa bertemu dengan dia dan berbincang-bincang atau sekadar duduk bersampingan. Dan percaya setiap tugas pasti ada yang mengerjakan (mungkin jin pendamping)?”

Barangkali semua hampir sepakat bahwa memiliki nilai sempurna adalah sebuah prestasi. Hanya saja, mendapatkannya perlu sedikit bersusah payah dan mau repot membolak-balikkan buku referensi yang tebalnya minta ampun. Ditambah pula harus mengerjakan setiap tugas se-perfect mungkin, tanpa cela, dan segalanya mesti terlihat sempurna di mata sang dosen.

Nilai, hanyalah sebuah simbol, dalam pengertian bahwa pemaknaan terhadap simbol itu sendiri bersifat multi interpretasi. Ketika seseorang mendapat nilai A, ada banyak kemungkinan kenapa dia mendapat nilai A. Boleh jadi waktu ujian dia tidak telat datang dan sedang tidak sakit, atau secara kebetulan dia berlatih soal-soal yang ternyata keluar waktu ujian. Mungkin juga karena sedang beruntung mendapatkan dosen baik hati (hanya memberi nilai A dan B). Dan tidak menutup kemungkinan dia semalam bermimpi mengerjakan soal, dan ternyata soalnya sama persis dengan yang diujikan. Ya, mungkin.

Memaknai Sebuah Nilai

Saya percaya nilai sebagai representasi kemampuan intelektual seseorang. Namun saya pikir, tidak serta merta semakin tinggi nilai yang didapat, semakin tinggi pula pemahaman dan kedewasaan cara berpikir seseorang. Toh, nilai hanyalah sebuah akumulasi angka. Tak bisa merepresentasikan kualitas individu secara komprehensif. Sederhananya, nilai tidak bisa dijadikan satu-satuya tolok ukur dalam menilai kualitas seseorang. Mestinya, perubahan positif yang terjadi setelah mendapatkan ilmu di kelas lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding dengan deretan angkat yang (bisa saja) tidak objektif. Hmmm…. Rasa-rasanya naif sekali ya ketika nilai A, B atau C bahkan D menjadi harga mati untuk barometer keberhasilan seseorang, apalagi ketika nilai tersebut jatuh, sang empunya merasa bahwa itu adalah ancaman dan kehancuran.

Nilai vs Ilmu: Pilih Mana?

Ketika yang dipilih nilai, maka yang dilakukan selama kuliah adalah bagaimana caranya mendapatkan nilai sempurna. Inilah mengapa ketika nilai menjadi yang dikejar, kita seakan terjebak pada sebuah ‘lingkaran setan’. Asal nilai bagus, copas (copy-paste) pun jadi, asal nilai bagus, nyontek pun tak jadi masalah. Persoalan ini semakin rumit, mengingat kejujuran mahasiswa tidak selalu bisa diandalkan. Terkadang (baca: seringnya) nilai idealisme sebagai insan akademis yang menjunjung tinggi kejujuran dalam berkreativitas seakan menjadi dagelan belaka dan menjadi nyanyian sumbang yang tak lagi enak di dengar. Ironis, sekaligus miris.

Mengejar nilai setinggi langit sah-sah saja, dan memang sangat dianjurkan, namun persoalannya berbeda ketika mendapatkan nilai dengan cara yang tidak fair, sehingga bisa saja yang karyanya hasil contekan, nilainya bisa melebihi karya hasil keringat sendiri. Maka tak heran, jika kreativitas di negeri ini kurang diapresiasi, dan pembajakan (baca: plagiasi intelektual) semakin menjadi hal yang biasa dan dibudidayakan. Ironis, sekaligus miris.

Sebenarnya, tren kuliah mengejar nilai, bisa dipahami dengan berkaca pada kenyataan bahwa banyak lembaga ataupun perusahaan mensyaratkan IPK yang tinggi sebagai sebuah ukuran keberhasilan di bangku kuliah, sehingga kemudian terjadi pergeseran paradigma dari kuliah untuk mencari ilmu menjadi kuliah mencari nilai. (Agak aneh juga kedengarannya ya). Dampaknya bisa ditebak, banyak universitas yang menghasilkan lulusan yang tidak siap menghadapi persaingan, bermental pekerja, gagap dalam mencipta dan berkarya.

Mencari Ilmu: Sekali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui

Mendapatkan nilai bagus itu gampang. Mendapatkan IPK diatas 3.8 itu gampang. Asal ada kemauan dan kesanggupan untuk menjalani tahapan-tahapannya disertai konsistensi. Hanya saja kita tak perlu begitu terpesona dengan nilai yang ‘wah’ yang pada akhirnya menjerat kita pada sebuah ‘lingkaran setan’. Justru yang terpenting adalah ilmu apa yang kita dapat, memaknai apa yang dipelajari serta mengaplikasikannya dalam kehidupan, dengan begitu saja saya kira cukup untuk mendaptkan nilai IPK yang tinggi tanpa ber-vivere pericolose .

Saya sepenuhnya percaya bahwa mencintai ilmu, mempelajari ilmu dan mengaplikasikan ilmu untuk kemudian mencipta dan berkarya adalah lebih memuaskan dan jauh lebih terhormat dari sekedar deretan angka-angka. Masyarakatpun tak akan menanyakan berapa IPK anda ketika kuliah, justru mereka akan menanyakan, kontribusi apa yang sudah anda berikan pada agama, bangsa dan almamater? Sudah siapkah kita untuk menjawab pertanyaan tersebut? Mari kita siapkan jawaban itu semenjak dari sekarang!

Wallahau a'lam.


Mifftah Nashir
Mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
(//rhs)

0 komentar:

Posting Komentar

KEOSABO

Sepenggal kata yang mungkin tak bisa di hilangkan dari dinamika perkembangan kota Sorowako. Tidak sekedar nama, melainkan sebuah rumah, wadah, klub, team, bahkan organisasi professional yag turut memberi warna kehidupan di kota Sorowako. Awalnya Keosabo dibentuk oleh komunitas teman-teman sepergaulan dan seperjuangan pada saat masa SMP sekitar tahun 1999-2000. Dan awalnya adalah komunitas bagi Sahabat2 seangkatan di SMP YPS Sorowako itu sendiri. Mengenai arti atau apa sebenarnya Keosabo itu sendiri..Merupakan kependekan dari Kencang Oke..Santai Boleh yang kemudian di singkat menjadi Keosabo. Nah, mungkin pada saat itu nama ini sangat pas menaungi komunitas ini. Yang pada saat itu memang lagi focus pada komunitas motor dan atau otomotif. Komunitas motor Keosabo di kenal santun dan solid serta bersahabat dengan komunitas2 motor lain di Sorowako

Hari berganti hari, masa beralih masa..Keosabo tumbuh dan berkembang begitu dewasa hingga ke jenjang SMU YPS Sorowako. Di iringi semangat kekeluargaan dan spirit anak muda yang memang lagi dalam masa proses pencarian jati diri (eksistensi), teman2 yang bergabung pun makin bertambah. Bertambahnya anggota makin membuat Keosabo makin penuh dengan nuansa baru dan potensi yang begitu besar. Bukan hanya bidang otomotif fokusnya..dunia musik, sport, dan kegiatan lainnya pun di rambah. Dari skil musik teman2 Keosabo yang hobby musik, maka Sahabat2 mencoba memadukan harmonisasi musik dalam satu band. Sempat eksis di dunia musik Sorowako dengan mengikuti berbagai ajang musik dan pentas seni di Kota Sorowako. Tidak hanya sampai di situ..Keosabo juga terus ikut andil dalam berbagai kegiatan2 positif, kreatif dan intelektual di Sorowako hingga Akhir masa SMU, dan terus solid hingga kini dan detik ini.

Sekarang para personil dan Sahabat2 Keosabo banyak yang menimba ilmu di luar Sorowako. Ada yang di Jogja, Bandung, Makassar, Malang, Jakarta, Surabaya, Semarang, bahkan di luar negeri pun ada. Namun jarak bukan penghambat untuk terus berkomunikasi dan bersatu. Dimana-mana nuansa akrab Keosabo masih terjaga. Jadi, ketika kita kemana2..mo ke Jogja, Bandung, Makassar atau dimanapun..sahabat2 Keosabo dengan ramah menemani. Masih terasa kental aroma persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Dasar Anak Keosabo..dimana2 dan kapanpun masih tetap kreatif. Hahaha..Canda tawanya tidak banyak yang berubah, sulit terlupakan dan tergantikan.
Miss u All Friends.
Glory For You All..Forever and Always.
banner angingmammiri
CO.CC:Free Domain

10 chord terlaris untuk minggu ini

chat